Digitalisasi Sekolah: Apakah Semua Siswa Siap?

Dalam beberapa tahun terakhir, proses digitalisasi di dunia pendidikan mengalami slot deposit qris percepatan yang luar biasa. Pandemi COVID-19 menjadi katalisator utama perubahan ini, memaksa sekolah-sekolah dari berbagai jenjang untuk beralih ke pembelajaran daring dan penggunaan teknologi secara masif. Namun, ketika euforia terhadap “sekolah digital” kian menguat, muncul satu pertanyaan krusial: Apakah semua siswa siap menghadapi digitalisasi sekolah?

Makna Digitalisasi Sekolah

Digitalisasi sekolah bukan sekadar penggunaan laptop atau internet dalam proses belajar-mengajar. Ia mencakup integrasi teknologi dalam seluruh aspek pendidikan—dari kurikulum berbasis digital, sistem administrasi elektronik, hingga komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua melalui platform digital. Tujuannya adalah menciptakan pembelajaran yang lebih fleksibel, adaptif, dan personal.

Namun, seiring dengan meningkatnya ketergantungan pada teknologi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua siswa berada pada titik kesiapan yang sama.

Ketimpangan Akses Teknologi

Salah satu tantangan terbesar dalam digitalisasi sekolah adalah ketimpangan akses terhadap perangkat dan konektivitas. Di kota besar, banyak siswa yang sudah terbiasa dengan penggunaan laptop, tablet, dan jaringan internet berkecepatan tinggi. Sebaliknya, di daerah pedesaan atau terpencil, akses terhadap listrik saja masih menjadi masalah, apalagi perangkat digital.

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa hingga kini masih ada ratusan ribu siswa di Indonesia yang belum memiliki akses ke perangkat belajar daring yang layak. Ini menunjukkan adanya kesenjangan digital yang signifikan, yang berpotensi memperdalam ketidaksetaraan pendidikan antarwilayah.

Kesiapan Literasi Digital

Selain soal perangkat, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah literasi digital siswa. Tidak semua anak memiliki kemampuan untuk menggunakan teknologi dengan benar dan bijak. Penggunaan gawai untuk bermain game atau media sosial bukan jaminan bahwa mereka siap untuk belajar secara daring atau memahami etika digital.

Literasi digital mencakup keterampilan mencari informasi yang kredibel, memahami konten digital, serta menjaga keamanan dan privasi di ruang maya. Tanpa pemahaman yang memadai, siswa justru rentan terhadap informasi palsu, penipuan online, atau bahkan perundungan digital (cyberbullying).

Peran Guru dan Orang Tua

Digitalisasi sekolah juga menuntut kesiapan dari pihak lain, terutama guru dan orang tua. Guru dituntut tidak hanya menguasai materi, tapi juga memiliki kemampuan untuk mengelola platform pembelajaran digital, membuat konten menarik, dan menyesuaikan metode mengajar dengan media digital. Hal ini membutuhkan pelatihan dan dukungan berkelanjutan dari institusi pendidikan.

Sementara itu, orang tua sering kali berperan sebagai pendamping utama dalam proses belajar daring, terutama untuk siswa di tingkat dasar. Namun, tidak semua orang tua memiliki pemahaman teknologi yang cukup. Banyak dari mereka yang kesulitan membantu anaknya mengakses materi, mengoperasikan perangkat, atau bahkan hanya memastikan jadwal belajar daring anak terpenuhi.

Solusi Menuju Kesiapan Bersama

Mengatasi tantangan dalam digitalisasi sekolah membutuhkan pendekatan sistemik. Pemerintah dan pihak swasta perlu bekerja sama dalam menyediakan infrastruktur dasar—seperti jaringan internet yang stabil dan perangkat belajar murah atau bersubsidi.

Di sisi lain, program peningkatan literasi digital untuk siswa, guru, dan orang tua menjadi sangat penting. Pelatihan ini tidak hanya tentang cara menggunakan teknologi, tetapi juga membentuk budaya digital yang sehat, inklusif, dan produktif.

Selain itu, penting untuk mengadopsi pendekatan blended learning, yaitu penggabungan antara pembelajaran daring dan tatap muka, agar proses belajar tetap inklusif dan mempertimbangkan kondisi siswa yang belum sepenuhnya siap secara digital.

Kesimpulan

Digitalisasi sekolah adalah langkah maju dalam dunia pendidikan. Namun, langkah ini tidak boleh melupakan kenyataan bahwa tidak semua siswa memiliki kesiapan yang sama—baik dari sisi akses, keterampilan, maupun dukungan lingkungan. Oleh karena itu, digitalisasi harus dilakukan secara bertahap dan inklusif, memastikan tidak ada siswa yang tertinggal di tengah transformasi ini.